Alat musik gambus lunik atau gambus anak buha adalah jenis alat musik yang memiliki sumber bunyi berasal dari dawai yang dipetik (membranophone). Bagian badan dari gambus lunik ini terdapat membran yang umumnya terbuat dari kulit kambing atau kulit rusa. Alat musik tradisional daerah Lampung yaitu gambus lunik atau gambus anak buha adalah salah satu contoh alat musik daerah Lampung yang tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat sebagai warisan nenek moyang secara turun-temurun. Gambus Lunik (gambus anak buha) adalah gambus yang berbentuk seperti anak buaya, ukurannya lebih kecil dari gambus-gambus pada umumnya, memiliki empat dawai, dan dimainkan dengan cara dipetik. Alat musik gambus lunik termasuk dalam alat musik harmonis.
A. SEJARAH GAMBUS LUNIK
Asal mula terciptanya alat musik gambus lunik pertama kali sangat sulit dipastikan. Diduga, ide terciptanya alat musik gambus lunik karena pengaruh bangsa Arab melalui Kerajaan Banten bersamaan dengan penyebaran Agama Islam sekitar abad ke-16. Saat penyebaran Agama Islam di Lampung, tokoh yang menyebarkan ajaran Agama Islam tersebut membawa dan menggunakan alat musik gambus untuk kepentingan dakwah. Alat musik gambus yang digunakan pada saat penyebaran Agama Islam di Lampung memiliki ukuran yang lebih besar dari alat musik gambus lunik. Pada bagian badan gambus ini tidak terdapat membran. Sedangkan pada bagian badan alat musik Gambus Lunik terdapat membran yang terbuat dari kulit kambing atau kulit rusa. Masyarakat Lampung khususnya masyarakat yang beradat saibatin (masyarakat yang berdialek api) sejak saat itu membuat alat musik serupa, dengan ukuran yang lebih kecil yang dalam bahasa Lampung disebut lunik. Sejak saat itu alat musik gambus lunik tumbuh dan berkembang sehingga menjadi alat musik tradisional di daerah Lampung.
Asal mula terciptanya alat musik gambus lunik pertama kali sangat sulit dipastikan. Diduga, ide terciptanya alat musik gambus lunik karena pengaruh bangsa Arab melalui Kerajaan Banten bersamaan dengan penyebaran Agama Islam sekitar abad ke-16. Saat penyebaran Agama Islam di Lampung, tokoh yang menyebarkan ajaran Agama Islam tersebut membawa dan menggunakan alat musik gambus untuk kepentingan dakwah. Alat musik gambus yang digunakan pada saat penyebaran Agama Islam di Lampung memiliki ukuran yang lebih besar dari alat musik gambus lunik. Pada bagian badan gambus ini tidak terdapat membran. Sedangkan pada bagian badan alat musik Gambus Lunik terdapat membran yang terbuat dari kulit kambing atau kulit rusa. Masyarakat Lampung khususnya masyarakat yang beradat saibatin (masyarakat yang berdialek api) sejak saat itu membuat alat musik serupa, dengan ukuran yang lebih kecil yang dalam bahasa Lampung disebut lunik. Sejak saat itu alat musik gambus lunik tumbuh dan berkembang sehingga menjadi alat musik tradisional di daerah Lampung.
Alat musik gambus lunik ini terbuat dari kayu lemasa (kayu nangka), karena masyarakat Lampung menganggap bahwa kayu tersebut awet dan akan menghasilkan suara yang baik. Alat musik gambus lunik adalah alat musik yang berbentuk seperti anak buaya, jadi bagian-bagian dari alat musik gambus lunik ini dinamakan seperti bagian-bagian pada organ tubuh buaya yaitu hulu (kepala), cuping (telinga), galah (leher), betong (perut atau badan), dan puntut (ekor). Disamping itu masih terdapat tali (dawai) dan alat pemetik yang disebut dengan pemeting gambus. Bentuk dan nama bagian Alat Musik Gambus Lunik dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
B. NADA DAWAI GAMBUS LUNIK
Gambus lunik memiliki empat buah tali (dawai) dimana tali 1, 2, dan 3 terdiri dari dua rangkap. Pada awalnya tali ini terbuat dari serat daun nanas (sebelum masyarakat Lampung mengenal benang). Perkembangan selanjutnya, tali gambus lunik ini terbuat dari benang, kemudian kawat dan pada akhirnya menggunakan senar. Adapun nama tali (dawai) dan nada pada alat musik Gambus Lunik adalah sebagai berikut.
- Tali pertama disebut Kuint (nada dawai E)
- Tali kedua disebut Ganda (nada dawai B)
- Tali ketiga disebut Goro (nada dawai F#)
- Tali keempat disebut Tala (nada dawai C#)
Setelan tali (dawai) pada alat musik gambus lunik tidak tetap, tetapi dapat disesuaikan dengan kemampuan sang penyanyi. Apabila penyanyi menganggap nada atau setelan tesebut terlalu tinggi, maka setelan tersebut harus direndahkan begitu juga sebaliknya, apabila penyanyi menganggap nada atau setelan tesebut dianggap terlalu rendah, maka setelan tersebut harus dinaikkan.
C. FUNGSI GAMBUS LUNIK
Alat musik gambus lunik adalah alat musik tradisional yang berfungsi sebagai pengiring dan penuntun masuknya lagu salimpat (melodi lagu berasal dari alat musik gambus lunik yang memiliki empat tali (dawai) yang dipetik secara berulang-ulang (berlipat-lipat) baik dinyanyikan sendiri oleh pemetik gambus maupun lagu salimpat yang dinyanyikan oleh orang lain. Jenis-jenis lagu salimpat ada bermacam-macam, lagu-lagu ini sangat terkenal dan digemari oleh masyarakat Lampung yaitu peting cucuk, mati kajong, mata kipit, hanyaman hati, nyakak tanjokh, sasimbatan, adi-adi, penyandangan, udiya, kilu khangok, wawancan, penayuhan, bedana, lawi ibung, incang-incang, khiuk padi, tongkop lasuhan, humbak moloh, ambu-ambu, dan lain-lain.
Alat musik gambus lunik pada awalnya digunakan sebagai alat komunikasi antar wargakampung (desa) yang satu dengan warga kampung yang lainnya. Hal ini dikarenakan jarak antara kampung yang satu dengan kampung yang lain sangat jauh dan dipisahkan oleh hutan. Alat musik gambus lunik juga digunakan oleh pemuda pada waktu itu sebagai alat untuk menjaga diri, atau dengan kata lain alat musik gambus lunik digunakan sebagai senjata. Gambus lunik juga digunakan oleh para pemuda sebagai alat untuk menghibur diri dalam perjalanan pulang setelah pemuda tersebut manjau atau (main) ke rumah sang wanita yang dicintainya. Hal ini dikarenakan jarak antara rumah pemuda dan wanita tersebut sangat berjauhan. Pada waktu itu kebanyakan pemuda mencari gadis yang berasal dari desa (kampung) lain.
Fungsi musik gambus lunik berkembang menjadi hiburan dalam hajatan sekitar tahun 1950. Dalam hajatan tersebut terdapat acara dimana antara muli-meranai (bujang dan gadis) berkumpul dan saling kenal-mengenal satu sama lain. Proses berkenalan tersebut melalui sasimbatan (pantun bersahut) yang dinyanyikan oleh muli danmeranai secara bergantian.
Sumber:
Wawancara dengan Edy Pulampas
Wawancara dengan Hafizi Hasan